Tour de Sorowako I

Malam itu kembali kerumah bersama dua bocah ku Abi dan Audi.

Seharian aku membawa mereka melihat-lihat Nursery, mendaki Pocin , lalu menuju ke danau Matano melarutkan kerinduan (juga  keringat ) ku.

Awalnya khawatir juga membawa bocah-bocah ini (oya Oshin juga ikut tour siang itu). Pagi-pagi  aku sibuk  grasak- grusuk biar  mereka terusik dan panik kalau tantenya tidak mengajak ikut.

Dan seperti biasa teknik ini berhasil dengan baik . Abi langsung terbangun dan segera mengikut instruksi ku untuk bersiap2. Sementara si putri tidur  dengan susah payah membuka  tirai matanya dan mendengus kesal karena pagi kembali memisahkannya dengan kedamaian alam mimpi. Sedih juga melihatnya tersiksa seperti itu tapi tak ingin dia terlena didalam tidurnya dan melupakan aku yang setia menunggunya bangun dan menemaniku bermain heheheh.

Langkah2 kecil mereka berusaha mengikut ritme ku, tapi saat mendaki pocin aku yang harus mengikuti ritme mereka. Kalau tidak aku harus menggendong semua bocah itu sampai ke puncak. well setidaknya tourku tidak jadi seperti adegan murid shaolin.  Sesekali mereka minta break. kami berhenti dan menikmati pemandangan sekeliling ( itu menurutku) . kurasa mereka berpikir” kapan sampainya seh? tante ngapain bawa aku ikut kehutan-hutan kayak gini?” hihihi.

agar mereka bersemangat aku mulai bernyanyi dan mereka dengan nafas setengah2 mengikuti laguku. Lagu andalan untuk momen  ini ( terjebak dengan 3 bocah di hutan kecil ini dan mulai ketakutan kalau mereka tak sanggup lagi) Naik2 kepuncak gunung!

Tak perlu pakai nafas panjang. Liriknya tidak membuat mikir yang lain (e.g. lagi kere atau lagi patah hati) kecuali apa yang saat itu kami lakukan. Mendaki.

Setelah beberapa kali beristirahat dan pura-pura tak menyadari kelelahan mereka akhirnya kami sampai di puncak. Pocin. Sangking gembiranya mereka langsung menikmati pemadangan dari puncak sambil bersandar dengan semena-mena ke pagar pembatas. Aku langsung panik (lagi).

Wajah abi segera mengkeret mendengar teguranku yang lumayan keras agar mereka tidak bersandar  di pagar yang terlihat rapuh itu.

Kurasa  kepanikan ku agak  merusak kegembiraan diatas sana.

Turun dari gunung aku dengan pintarnya memilih rute yang ternyata lumayan jauh. Dari sisi lereng itu bumper dan jalan menuju kopatea terlihat jelas. Untungnya jalur pendakian yang dibuat dari deretan batu kali berwarna putih itu sangat membantu.  Malu juga  membayangkan kalau si tante kedapatan nangis karena tersesat di jalan yang dipilihnya sendiri.

Aku merasa lega melihat taman tambang  yang sudah menanti untuk merayakan kelolosan kami 🙂

Alhamdulillah!

 

 

 

 

 

 

Leave a comment